Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Kabupaten Aceh UtaraOpini

Efektifkah New Normal di Indonesia?

52
×

Efektifkah New Normal di Indonesia?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Raja Awwalu Zikri, Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Bisnis FISIP Universitas Malikussaleh. Mengikuti Program KKN Penulisan Karya Pengabdian (KKN – PKP) di bawah bimbingan dosen pembimbing lapangan ibu Sayni Nasrah, S.Pd., M.Pd

Aceh Utara, Relasipublik.Com.- Pemberlakuan new normal oleh pemerintah dianggap sebagai satu-satunya jalan keluar dari keterpurukan selama adanya pandemi COVID-19. New normal atau kenormalan baru diberlakukan dengan tujuan ‘menormalkan’ kehidupan yang ada saat ini. Memang rasanya aneh, menormalkan sesuatu yang sebenarnya normal-normal saja, tapi itulah kenyataan kehidupan yang dianggap tidak bisa kembali normal. Berkiblat pada pemberlakuan new normal yang sudah diterapkan oleh beberapa negara lain, pemerintah berharap Indonesia mampu menerapkan new normal dengan efektif.

Example 300x600

Pada 15 Mei, Presiden Joko Widodo memberlakukan new normal di Indonesia. Kesiapan pemberlakuan new normal dinilai penting agar tidak menambah buruk keadaan saat ini. Di luar negri, new normal menjadi cara terbaik yang dilakukan, karena persiapan matang dari pemerintah dan warganya. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?.

Sebenarnya, pemberlakuan new normal bukanlah ide yang tiba-tiba muncul akibat pandemi yang semakin memburuk. New normal diinisasi oleh World Health Organization (WHO), sehingga banyak negara menerapkannya.

Inisiasi ini sebenarnya ‘harus’ dilakukan bagi negara yang kasus positif COVID-19 kurvanya sudah turun. WHO menganggap jika kasus positif COVID pada sebuah negara sudah turun, berarti negara tersebut sudah bisa menangani pandemi ini dengan baik. Memberlakukan new normal, berakibat pada peningkatan kasus positif, jika tidak bisa ditangani dengan baik.

Kasus Positif

Di Indonesia sendiri, bisa kita lihat, negara ini sebenarnya belum mampu menangani pandemi dengan baik, namun tetap memberlakukan new normal. New normal seakan menjadi satu-satunya jalan keluar agar kehidupan kembali seperti biasanya, padahal kurva kasus positif terus meningkat. Pasalnya, dilansir dari merdeka.com per tanggal 9 November 2020, kasus positif Covid-19 bertambah 2.853 menjadi 440.569 kasus. Pasien sembuh bertambah 3.968 menjadi 372.266 pasien. Angka kematian bertambah menjadi 14.689 orang yang didalamnya termasuk 282 tenaga medis.

Pemberlakuan new normal melonggarkan aturan-aturan yang diberlakukan selama pandemi. Kembali dibukanya mall, café, restoran, dan tempat fasilitas umum lainnya, diduga menjadi penyebab meningkatknya kasus positif. Virus dengan mudah menyebar jika kita sering berkerumun dengan banyak orang. Inilah hal yang ditakutkan dengan adanya new normal, khusunya di Indonesia.

Kemudian timbul pertanyaan, kalau dengan keberadaan new normal semakin banyak kasus positif, maka cabut saja pemberlakuan new normal ini. Pada intinya, new normal  bertujuan untuk memperkuat sistem kesehatan, menciptakan sistem perlindungan sosial yang adaptif, serta membangun solidaritas sosial, dan ketangguhan masyarakat. Jika new normal menjadi penyebab meningkatkan kasus positif, berarti negara tersebut memang belum mampu menangani keberadaan pandemi COVID-19.

Dilema Pemerintah

Keberadaan pandemi COVID-19 memang membuat semua pihak bingung, terutama pemerintah. Di satu sisi, pemerintah perlu berusaha sekeras mungkin untuk menekan angka kasus positif. Di sisi lain, pemerintah juga harus membangkitkan keadaan ekonomi yang sedang dalam keterpurukan. Tidak dapat dipungkiri, keberadaan pandemi meluluhlantakkan perekonomian di seluruh daerah di Indonesia.

Terjadi kecemburuan sosial akan adanya pandemi ini. Selama pandemi pekerja formal yang biasa bekerja di kantor bisa melakukan Work From Home (WFH), sesuai anjuran pemerintah. Namun, pekerja informal, seperti pedagang kaki lima, buruh, ojek online, dan lainnya mau tidak mau harus tetap bekerja walaupun keadaan semakin buruk.

Memberlakukan new normal berarti pemerintah lebih mementingkan uang daripada kesehatan. Itulah yang ada dipikiran kebanyakan masyarakat. Pemerintah dianggap tidak memprioritaskan nyawa seseorang. Sebenarnya dalam upaya menekan angka kasus positif, pemerintah sudah menerapkan 3T yakni, penelusuran kasus (tracing), pengetesan (testing), dan perawatan (treatment).

Pemerintah sudah sebisa mungkin memberikan keringanan biaya bagi masyarakat. Pemerintah telah mengalokasikan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp 695,23 triliun pada tahun 2020. Dilansir dar katadata.co.id, hingga 16 September 2020, anggaran PEN telah terealisasi sebanyak Rp 254,4 triliun. Secara rinci, realisasi program kesehatan telah mencapai Rp 18,45 triliun atau 21,1% dari pagu, perlindungan sosial Rp 134,45 triliun atau 60,6%, sektoral kementerian atau lembaga pemda Rp 20,53 triliun atau 42,2%, dan dukungan UMKM mencapai Rp 58,74 triliun atau 47,6%.

Mengukur Efektivitas

Jika melihat pada faktor ekonomi, kebijakan new normal bisa dikatakan efektif. Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan adanya new normal, keadaan ekonomi mulai membaik. Restoran atau café yang sempat mengalami kerugian akibat sepinya pembeli, perlahan lahan mulai bangkit. Dengan adanya new normal, masyarakat diperbolehkan untuk membeli makanan dan makan di tempat.

Lowongan pekerjaan juga mulai dibuka. Kantor-kantor mulai menjalankan aktivitas seperti biasa dengan tetap menerapkan protokol kesehatan sesuai anjuran pemerintah. Para pedagang pasar mulai kembali berjualan. Aturan yang melarang pedang untuk berjualan, mulai dilonggarkan. New normal diharapkan menjadi solusi bagi keterpurukan ekonomi.

Mengukur efektivitas tidak bisa hanya dinilai berdasarkan hal positifnya saja, dampak lain juga perlu diperhatikan. Aturan yang melonggarkan masyarakat agar bisa berpergian, menjadi penyebab meningkatnya kasus positif COVID-19. Tenaga kesehatan kembali menanggung akibatnya. Semakin banyak kasus positif, semakin berat juga pekerja para tenaga kesehatan. Banyak tenaga kesehatan yang sudah menjadi korban, mulai dari menjadi pasien positif sampai yang paling parah meninggal dunia. Lagi-lagi, pemerintah dianggap tidak memprioritaskan nyawa para tenaga kesehatan yang menjadi garda terdepan penanganan pandemi ini. Tenaga kesehatan seakan ‘dikorbankan’ dengan adanya new normal.

Masyarakat lain yang masih di rumah saja, mengkhawatirkan pemberlakuan new normal yang sudah lumayan lama diterapkan di Indonesia. Masyarakat yang memilih tetap di rumah saja, tidak ingin tertular atau bahkan menularkan virus COVID-19. Mereka paham, bahwa kembali bertemu dengan banyak orang berarti meningkatkan resiko tertular.

Solusi

Jadi, apakah new normal bisa dikatakan efektif? Jawabannya tidak. Bagaimanapun, hanya new normal yang menjadi satu-satunya jalan keluar dalam keadaan darurat seperti ini. Lalu, bagaimana solusinya jika new normal tidak efektif? Sebagai masyarakat, kita hanya bisa menuruti aturan yang pemerintah keluarkan. Efektif dan tidak efektifnya penerapan new normal biarkan menjadi kritik pada pemerintah.

Hal yang perlu dilakukan, kita sebagai masyarakat adalah tetap menaati protokol kesehatan seperti memakai masker, mencuci tangan atau menggunakan hand sanitizer, dan selalu menerapkan social distancing dimanapun berada. (Rls/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *